What i Feel and Think


“Kapan papa pulang?”
February 27, 2014, 8:07 pm
Filed under: Uncategorized

Sejatinya setiap manusia mempunyai harapan untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Seperti apa yang dilakukan oleh suami saya, Hendro Rahtomo, yang demi mewujudkan harapan itu suami saya menjalin kerjasama kredit untuk pengembangan usahanya, namun akhirnya justru terjerat dalam perangkap mafia perbankan. Hingga suami saya ditahan dan rumah tinggal kami yang dijaminkan atas peminjaman itupun terancam hilang.

Saya berbagi kisah ini dengan harapan pengalaman buruk berkerjasama dengan bank yang menimpa keluarga saya ini tidak terjadi pada keluarga lain, dan juga sebagai luapan emosi yang tidak tertahan lagi, terlebih akhir-akhir ini saya makin kesulitan menjelaskan keberadaan suami saya ketika ketiga anak saya bertanya keberadaan ayah mereka.

Cerita ini dimulai pada Desember 2011, ketika Hendro Rahtomo membutuhkan tambahan dana untuk pengembangan usaha, dan kemudian berhubungan dengan pihak sebuah BPR di Semarang,untuk pemenuhan dana pengembangan usaha. Pihak BPR memang menyetujui pemberian dana kredit, tetapi kucuran kredit tersebut dituangkan bukan dalam bentuk Perjanjian Kredit namun berdasarkan surat Pengakuan Hutang yang dibuat dihadapan notaris di Sleman, Yogyakarta.

Hendro Rahtomo mendapatkan pinjaman sebesar 1 miliar rupiah dengan jangka waktu satu tahun, terhitung 12 Desember 2011 dan akan berakhir pada 12 Desember 2012, dengan ketentuan hutang tidak dapat diperpanjang, serta bunga sebesar 22 juta rupiah harus dibayarkan setiap bulan sampai dengan bulan kesebelas. Sedangkan pokok berikut bunga sekaligus harus dibayarkan paka bulan ke 12. Atas kredit tersebut, Hendro Rahtomo menggunakan sertifikat kepemilikan rumah keluarga sebagai jaminan.

Sebelum jatuh tempo pembayaran hutang pada bulan ke 12 tersebut Hendro Rahtomo mengalami kesulitan untuk melakukan pelunasan pokok kredit beserta bunganya, usaha yang dijalankannya mengalami kesulitan di bulan-bulan itu. Untuk meringankan beban pengembalian kredit, Hendro Rahtomo mengajukan take over pinjaman kepada sebuah bank di Kulon Progo dengan perhitungan suku bunga lebih ringan dan jangka waktu pengembalian pinjaman lebih lama. Meskipun ada bank yang menyetujui take over dengan pertimbangan nilai asset jaminan pinjaman, namun proses take over tidak bisa dilakukan dengan alasan nama Hendro Rahtomo tidak tercantum dalam Sistem Informasi Debitur (BI Cecking). BPR tempat mendapatkan kredit tersebut rupanya tidak membuat pelaporanke Bank Indonesia atas nama Hendro Rahtomo sebagai kreditur, saat penandatangan surat Pengakuan Hutang pada tahun 2011.

Terhambat pada proses take over, Hendro Rahtomo mencoba mencari jalan lain dengan menegosasikan pelunasan hutang dalam bentuk rescheduling kepada pihak BPR, namun ditolak. Setelah penolakan rescheduling itu BPR mendaftarkan jaminan kredit berupa rumah yang beralamatkan di Pogung, Sleman,Yogyakarta, untuk dilelang. Pengumuman dan penetapan lelang tahap pertama oleh KPNKL Yogyakarta pada 29 Januari 2013 dan lelang tahap kedua pada 27 Februari 2013. Meski tanpa ada pembeli, namun pengumuman lelang itu membuat Hendro Rahtomo panik.

Di tengah kepanikan dan kekalutan Hendro Rahtomo karenakhawatir kehilangan rumah, seorang dari BPR itu yang berinisialBK mendatangi kediaman Hendro Rahtomo. Kedatangannya itu untuk memberikan tawaran solusi dengan menghubungkan dengan pihak ketiga yang akan membantu menutup hutang. DariBapak BK inilah Hendro Rahtomo berkenalan dengan seorang berinisial W yang menjadi pihak yang akan menyelesaikan pinjaman ke BPR dengan ketentuan pembayaran berserta bunga pinjaman berjangka waktu tiga bulan sebesar 1,257 miliarrupiah.

Karena kalut, takut kehilangan rumah dan tidak mempunyai pilihan lain, Hendro Rahtomo mengikuti tawaran solusi yang diberikan pihak BPR melalui Bapak BK. Pada tanggal 26 Februari 2013 kesepakatan dibuat dihadapan notaris. Ternyata kesepakatan itu dibuat bukan atas nama Bapak W tetapi melalui istrinya yang berinisial MS. Tanpa kehadiran Nyonya MS, notaris membuat tiga jenis akta, pertama Akta Pengikatan JualBeli Nomor 151, Akta Kuasa Menjual Nomor 152, dan Akta Perjanjian Pengosongan Nomor 153. Semua Akta itu tertanggal 26 Februari 2013.

Hendro Rahtomo tidak memperkirakan konsekuensi dari penandatangan ketiga akta tersebut. Hendro Rahtomo menduga akta yang dibuat yang adalah pengalihan hutang dari BPR ke Nyonya MS (yang diwakilkan Bapak W), sebagaimana yang diyakinkan selalu oleh pihak BPR. Tetapi akta tersebut justru berwujud pengikatan jual beli lunas rumah, kuasa menjual rumah dan perjanjian pengosongan rumah. Rumah tersebut dihargai 1,275 miliar rupiah. Selain perjanjian yang dibuat tidak sesuai dengan akad, harga yang tercantum dalam akta jual beli itu terlalu rendah untuk ukuran rumah yang dijaminkan.

Hendro Rahtomo tidak menaruh kecurigaan, sampai saat ia siap dengan dana untuk menutup hutang plus bunga dan denda seperti yang disepakati dalam akta. Ketika itu lah Hendro Rahtomo menangkap ketidak beresan dengan BPR tersebut. BK yang selama itu ramah dan rutin bertandang ke rumah kami, serta selalu memposisikan diri sebagai mediator dengan pihak MS, tiba-tiba mengatakan sertifikat tidak bisa ditebus, dan kami harus mengosongkan rumah. Pada titik itu dengan bantuan pengacara, Hendro Rahtomo menggugat tiga kesepakatan tertanggal 26 Februari 2013 di Peradilan Perdata.

Namun, pihak Nyonya MS juga melakukan gugatan hukum kepada Hendro Rahtomo. Perkara yang didakwakan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan atau Pasal 167 ayat (1) KUHP tentang Tindak Pidana Memasuki Rumah atau Perkarangan yang Tertutup Tanpa Hak. Jaksa menitiktekankan Akta Perjanjian Pengosongan Rumah Nomor 153 tanpa menindaklanjuti sebab adanya perjanjian tertanggal 26 Februari 2013. Di Peradilan Pidana ini entah mengapa prosesnya begitu cepat. Berkas perkara Hendro Rahtomo di perkara pidana dikeluarkan kepolisian tanggal 9 Januari 2014, selanjutnya keluar surat penahanan oleh kejaksaan tanggal 04 Februari 2014.

Selama proses persidangan di Pengadilan Negeri Semarang saya mengetahui Hendro Rahtomo tidak sendiri. Terdapat 9 korban lain yang mempunyai masalah yang sama, tiga di antaranya juga dikriminalisasikan seperti Hendro Rahtomo, suami saya.  

Setelah sekian waktu penahanan Hendro Rahtomo, saya selalu khawatir ketika ketiga anak saya bertanya mengenai keberadaan ayah mereka. Awalnya saya mengatakan jika ayah mereka sedang berada di rumah nenek mereka di Pati, di sana sedang banjir sehingga ayah mereka hanya bertahan di atas genting. Mereka mempercayai keterangan tersebut, meskipun tak menghentikan pertanyaan “kapan papa pulang?”. Saya mencoba menenangkan dengan bilang, ayah mereka sedang sakit belum bisa pulang. Saya masih belum bisa mengajak ketiga anak saya yang masih kecil itu menemui ayahnya yang berada didalam tahanan.

Terlebih kondisi ayah mereka kian memburuk belakangan ini, setelah semakin sulit dan terlihat suram kiranya dalam mengakses keadilan. Kini tubuhnya makin kurus, semangatnya makin redup, dan saya khawatir dengan kondisi suami saya yang mempunyai kolestrol dan diabetes itu justru membuat kemalangan-kemalangan lain menimpa keluarga kami.

Yogyakarta, 21 Februari 2014

Ranggoaini Jahja, istri Hendro Rahtomo


7 Comments so far
Leave a comment

Dulu, tahun 2006 rumah keluarga hampir di sita bank tanpa alasan yang jelas. Umur saya masih 14 tahun, yang ada pikiran saya cuma kok BPR brengsek. Jumlah pinjaman yang di ajukan ayah saya sendiri setara dengan harga 2 unit alpahrd dengan jaminan sertifikat rumah dengan luas 220/580. Sebanding dengan 4 unit alphard. Di saat pertengan pembayaran ayah saya sedikit kesulitan untuk membayar, pihak BPR terus menekan. telat pembayaran selama 2 bulan, bunga membengkam melebihi pokok pinjaman. Brengsek memang. Ayah saya semakin kesulitan, perusahaan beliau di jual 50% untuk membayar pokok pinjaman. Karena pokok bunga yang mengada-ngada, beliau meninjaklanjuti dengan melapor. Pengadilan selesai. Tau apa putusan jaksa? Pihak bank menang. Keluarga saya semakin terpuruk.

Comment by fadil

makasih share nya mas..maksud anda putusan hakim memenangkan tuntutan jaksa? buat saya melawan BPR ini bukan hanya semata-mata saya ingin menyelamatkan aset. Tp mafia perbankan ini harus dilawan, seperti hanya jenis korporasi jahat lainnya yg mencari untung dgn cara menghisap darah rakyat, dan parahnya dilindungi negara. Untuk apa berusaha melawan walaupun kemungkinan kalah selalu ada? Agar saya dapat mewarisi pengalaman perlawanan pada anak-anak saya…karena saya yakin sekali ada yg melawan, maka jalan untuk generasi selanjutnya akan lebih mudah dilalui.

Comment by marganusa

ibu keluarga kami sedang mengalami permasalahan yg sama, memang sepertinya ini sudah menjadi kejahatan korporasi yang terselubung menjadi mafia perbankan/pertanahan, boleh kiranya meminta kontak ibu untuk sharing lebih lanjut? saya rasa harus ada suatu aksi perlawanan secara kolektif/solidaritas bersama dari para korban yg jumlahnya pasti ribuan agar suatu saat hal seperti ini dapat dicegah dengan perangkat perundang2an resmi negara, terimakasih & salam.

Comment by LK

boleh ibu…kita lanjut klo gitu ngobrol via email ya? bisa ke saya di: nieke.jahja@gmail.com

makasih sharingnya…

salam

Comment by marganusa

Saya mengalami permasalahan yang hampir mirip ibu, ketika tidak ada dana dan jaminan yang kami miliki , suami terpaksa menanggung beban di tahanan , sampai sekarang anak-anak sayang yang masih balita hanya tahu ayahnya kerja, walaupun mereka selalu tanya kenapa tidak pulang – pulang, saya pun harus menanggung beban biaya hidup yang tidak sedikit, hanya bisa bertahan semampunya, entah berapa lama , namun tetap berusaha bertahan demi anak-anak..jangan putus semangat ibu karena saya pun berusaha tidak menyerah

Comment by bunda_sayang

kalo boleh usul kalo mau efektif libatkan media massa terutama tv swasta…hal seperti ini harus diblowup kalo bisa semua tv swasta menmberitakan mba biar orang yg mau jahat melek….tq

Comment by anton

terimakasih sarannya pak. sementara ini sdh di media cetak dan online pak. saat ini kami msh melaporkan balik, dan mulai ada titik terang. semoga keadilan berpihak pd kami…

Comment by marganusa




Leave a reply to marganusa Cancel reply